Jumat, 08 Mei 2009

Sulitnya, menerima diri apa adanya

Sulitnya, menerima diri apa adanya

Kadangkala dalam hidup ini, meminta kita menangis tanpa sebab. Kita mengira keputusan yang diambil sudah tepat, ternyata perkiraan keliru.!


Tentu saja setiap keputusan yang kita ambil, ada resiko untung atau rugi sebagai bias dari efek perbuatan kita, sebagai contoh soal, ketika kita berkeputusan untuk menolong orang, ternyata kita salah menempatkan pertolongan itu, seumpama kita sudah salah memilih tanah untuk menanam benih, Bukan ucapan terima kasih yang diterima, tetapi kita mendapat cemoohan dan kritikan yang dialamatkan kepada kita. Jika hal ini terjadi, apakah kita jera untuk berbuat kebaikan..?


Zaman sekarang yang namanya ‘kebaikan’ sudah menjadi barang langka, banyak orang tidak perduli dengan keadaan orang lain, maka jika mendapati seseorang mampu berbuat kebaikan diatas rata-rata ukuran ‘normal’, banyak orang, berubah menjadi curiga.


Dengan keadaan ini relasi antar jiwa menjadi ‘jauh’ dari sikap kemanusiaan, banyak orang menepuk dada sebagai orang ‘baik hati’ ternyata sikap dalam tindakan keseharian, jauh dari keteria orang yang berbelas kasih. Sebagai contoh yang sering terjadi di jalan raya, orang memilih memalingkan wajah dan segera berlalu, ketika didepan mobilnya sebuah sepeda motor terguling menjatuhkan pengendaranya dengan luka-luka.


Kenapa orang sampai ‘takut’ untuk menolong.? Beberapa peristiwa memberi efek jera pada sebagian orang, dimana banyak terjadi, niat hati ingin menolong, ternyata menjadi tertuduh yang harus dihukum. Ada kejadian yang pernah terjadi, sepasang suami istri yang sudah lama tinggal di Luar Negri, rindu untuk melihat desa asalnya, dengan mengendari mobil, berjalan santai di pedesaan yang asri, rimbunnya pohon, dan pemandangan desa sangat memesona pasangan ini, ketika tiba-tiba dikejauhan mereka melihat, seorang pengedara sepeda terperosok dan terjatuh setelah menabrak sebuah pohon.


Merasa kasihan, pasangan ini segera mendatangi tempat kejadian, dan melihat kepala orang tersebut berdarah dan tak sadarkan diri, sang istri yang mengerti tentang pengobatan, segera memberikan pertolongan.


Tiba-tiba beberapa penduduk desa melintas, dan segera melihat kejadian tersebut, alih-alih mereka segera membantu memberi pertolongan, yang terjadi dengan serentak mereka berteriak : “kalian, orang kaya tidak tahu diri, jalan di desa ngebut semaunya, sampai mencelakakan orang”


Pasangan tersebut ketakutan, dan terheran-heran, mencoba menjelaskan bukan mereka penyebab kecelakaan itu, tapi penduduk desa semakin banyak berdatangan dan tanpa dikomando, beberapa orang segera menarik sang suami dan memukulinya, sang istri segera berteriak dengan bahasa daerahnya, menyatakan diri, dia pernah jadi penduduk asli daerah itu, dan menyebutkan beberapa nenek buyutnya yang pernah tinggal disitu.


Penduduk desa berhenti memukul karena mengerti arti bahasa tersebut, tapi sang suami sudah mendapat beberapa pukulan keras yang membuatnya terkapar, kejadian ini akan menjadi tragedi, jika sang istri pasangan tersebut tidak bisa berbahasa indonesia, dan bagaimana jika pengendara sepeda itu sampai meninggal, peristiwa yang tidak ada saksi, tidak ada yang membela atas perbuatan mereka yang ingin menolong.


Penulis menyaksikan, seorang teman yang berniat membantu seorang sahabatnya, harus menanggung segala kepahitan karena istri temannya tersebut, memperkarakannya dengan fitnah sebagai penipu, teman ini tidak bisa berbuat banyak untuk membela dirinya, juga tidak ada yang membelanya, karena pertolongan yang dia niatkan tidak ada buktinya, terlalu abstrak untuk dijabarkan dalam pasal-pasal hukum.



Apa pasangan pada kisah pertama, itu harus jera berbuat kebaikan.? Apa teman saya itu juga harus menyesali diri dan tidak punya niat lagi menolong orang..? Apa kita harus menangisi kelakuan kita, ketika mendapat banyak masalah dan kerugian karena mempunyai niat menolong orang.? Jika hal ini terpikir pada semua orang yang berniat menolong sesamanya, mungkin dunia sudah kehilangan keindahannya, isi dunia hanyalah kebencian, penderitaan dan keputus-asaan.! Jangan biarkan hal ini terjadi, Jangan sampai kita kehilangan kesempatan yang baik, untuk berbuat kebaikan dalam hidup ini.


Sulitnya, menerima diri apa adanya

Satu jari menunjuk orang, empat jari lain terarah pada diri sendiri.! Ini pribahasa Indonesia yang terkenal, Saat ini semakin banyak orang mempraktekkannya. Carl Jung pernah menulis, "Bagian yang paling menakutkan dan sekaligus menyulitkan adalah menerima diri sendiri secara utuh, dan hal yang paling sulit dibuka adalah pikiran yang tertutup!"


Kita sulit menerima kenyataan, Kita berpikir tidak mungkin orang lain mau atau bisa memberi kebaikan, kita berpikir mustahil ada orang mau berbuat hal itu, karena ternyata jiwa sendiri yang tidak mau berbuat itu, bahkan berpikir kearah itupun tidak.! Maka timbul rasa heran, jika menyaksikan perbuatan ‘baik’ orang lain, hal ini diproyeksikan dengan cemoohan, yang jika jujur, dimana berpikir dengan jernih, sebetulnya jiwa kita, sedang mencemooh diri sendiri, Sikap iri dengki yang diekspresikan keluar dalam bentuk cemoohan, menandakan kita tidak mampu berbuat.!


Sikap curiga pada perbuatan baik orang, menandakan kita sulit sekali menerima diri kita apa adanya, bahwa kitalah yang berpikiran jahat, apa yang kita pikirkan orang lain berbuat, sebenarnya imajinasi itu sudah tercipta terlebih dahulu di alam pikiran kita. Sikap menuduh pada orang lain, sebenarnya kelakuan itu sudah terjadi di alam pikiran sendiri.


Neal Beidleman, pernah berkutat untuk menerima diri apa adanya, pada renungan tragedi yang menimpa teman-temannya, dimana dia sendiri selamat dari ekspedisi malang pada tahun 1996, ketika delapan orang pendaki gunung tewas di Gunung Everest. Sebagian dari mereka telah membayar uang sebesar 65.000 dolar AS, agar mendapat kesempatan mendaki puncak gunung tertinggi di dunia itu.


Saat mengevaluasi penyebab kemalangan tersebut, Beidleman berkata, "Tragedi dan malapetaka... tidak disebabkan oleh suatu keputusan, kejadian, atau kesalahan tunggal, tetapi merupakan titik puncak dari banyak hal dalam hidup Anda. Ada sesuatu yang terjadi, dan kejadian itu menjadi katalisator bagi datangnya semua risiko yang telah Anda ambil.


Kembali kita pada topik awal, dimana kisah orang-orang yang beniat berbuat kebaikan, menerima nasib menjadi orang ‘sial’ yang tertimpah tragedi, jika kita telaah apa yang Neal Beidleman analisa, tentang kaitan suatu musibah sebagai katalisator dari semua resiko yang diambil dan diputuskan. Kita tidak akan pernah surut untuk melakukan lagi dan lagi, suatu hal yang kita yakini sebagai expresi hidup yang kita keluarkan, kita yakin dengan banyak menolong orang, kita merasa hidup, maka perbuatan itu menjadi sumber vitamin kekuatan hidup bagi pemilik niat itu.


Yang perlu diingat seperti analisa Neal Beidleman yaitu : “Tragedi dan malapetaka... tidak disebabkan oleh suatu keputusan, kejadian, atau kesalahan tunggal, tetapi merupakan titik puncak dari banyak hal dalam hidup Anda” maka jika kita melakukan sesuatu walaupun waktu sangat sempit, kita tidak kehilangan kendali untuk berpikir atas resiko dan keputusan yang akan dijalankan. Itulah yang bisa kita lakukan agar tragedi dan malapetaka bisa dihindari.


Keyakinan jika kita melakukan hal yang benar demi kebaikan, maka dunia akan merespek perbuatan kita dengan kemudahan-kemudahan, yang berisi kebaikan pula. Dengan keyakinan ini, maka dunia tidak akan kehabisan orang yang mampu berbuat baik tanpa pamrih untuk sesamanya. Selama ada kasih dalam hati manusia, maka kehidupan tetap menjadi hal yang patut diperjuangkan.! Kasih, adalah pengikat yang sempurna dalam relasi antar jiwa. Kasih bisa digambarkan melalui apa yang dilakukan dan apa yang tidak dilakukan.


Salam bahagia untuk semua yang bisa ENJOY menjalani hidup.!,

L.H



Tidak ada komentar:

Posting Komentar