Jumat, 15 Mei 2009

Mengguncang Psikologi Siswa

Mengguncang Psikologi Siswa dengan Perubahan UAN
catatan: gak sangka, artikel ini ditayangkan Suara Pembaruan tgl 13 februari 2005. eeeeeh sekarang udah tahun 2009 mbooooooo ternyata, apa yang ditulis dalam artikel ini tetep aja berlangsung untuk UAN sekarang. huahahahaha pusiiiiiiiiiing.! (Srikandi)

Saat ini, para pejabat (DPR dan Departemen Pendidikan Nasional) asyik memperdebatkan Ujian Akhir Nasional (UAN). Banyak perubahan dicoba untuk "memperbaiki" sistem pendidikan di negara ini.


Seperti yang kita saksikan bersama, apakah maksud perubahan yang diperdebatkan itu betul-betul merupakan sesuatu perbaikan atau malah sebaliknya? Yang jelas, semakin banyak perubahan, semakin memprihatinkan kejiwaan siswa yang mendapatkan efek langsung kebijakan "perbaikan" tersebut.


Pencanangan wajib belajar bagi usia sekolah dasar sungguh sangat memprihatinkan karena tempat belajar saja banyak yang lapuk, tidak layak dipakai. Sebagai contoh, berita ratusan sekolah dasar di Tangerang terancam rubuh (SP, 3 Februari).


Sementara itu, guru hidup dengan memprihatinkan karena banyak yang mempunyai honor sangat minim. Karena itu, jangan heran kalau mereka tidak mampu bekerja optimal untuk mencerdaskan tunas bangsa karena kebutuhan pokok sandang pangan mereka tidak terpenuhi.

Sehingga, setelah selesai mengajar, banyak guru menjadi tukang ojek, kernet metromini, dan sebagainya hanya untuk bisa hidup dengan layak.


Anak sekolah menjadi jenuh dan frustrasi serta bingung mengikuti kurikulum yang selalu berubah, disertai orangtua yang stres karena setiap tahun buku pelajaran harus beli baru sebab ganti menteri ganti kebijakan, ganti peraturan, padahal semua itu memerlukan uang banyak.


Akibatnya, semakin banyak anak-anak miskin yang putus sekolah. Jika hal itu dibiarkan berlarut-larut, di kemudian hari akan terjadi generasi Indonesia yang bodoh dan ketinggalan zaman, tidak bisa bersaing dalam globalisasi.


Perbedaan yang mendasar bagi suatu negara bisa menjadi negara maju yang kaya raya, atau menjadi negara berkembang yang miskin adalah bagaimana sikap dan perilaku masyarakatnya, yang dibentuk oleh kebudayaan dan pendidikan sepanjang negara itu bertumbuh.


Miskin bukan kutukan.!

Perbedaan antara negara maju yang kaya dan negara berkembang yang masih miskin tidak terletak pada usia suatu negara, sumber daya alam, luas wilayah, dan jumlah penduduk.


Usia suatu negara tidak menjamin negara tersebut bisa menjadi maju dan masyarakatnya menjadi penduduk yang kaya. Contoh, India dan Mesir, mereka berusia lebih dari 2.000 tahun, toh sampai sekarang tetap menyandang predikat sebagai negara yang berkembang, dan sebagian besar penduduknya masih tergolong miskin.

Sementara Singapura dan Selandia Baru, usia negaranya kurang dari 150 tahun dalam membangun diri, toh mereka saat ini menjadi negara yang sangat maju dan masyarakatnya rata-rata kaya.


Sumber daya alam bukan jaminan untuk suatu negara menjadi negara yang kaya dan maju. Contoh Jepang, negara yang alamnya 80 persen merupakan rangkaian pegunungan yang sulit ditanami dan untuk beternak. Banyak wilayahnya yang labil dan bencana gempa bumi, tetapi mengapa saat ini Jepang menjadi raksasa ekonomi nomor dua di dunia.


Luas wilayah bukan jaminan untuk suatu negara menjadi maju dan kaya raya. Contoh Swiss sebagai negara yang tidak mempunyai perkebunan coklat, tetapi mengapa Swiss menjadi negara pembuat coklat terbaik di dunia.


Swiss tidak mempunyai tanah pertanian luas karena hanya 11 persen dari luas negaranya yang bisa ditanami, tetapi mengapa dia mempunyai perusahaan makanan terbesar di dunia dengan nama Nestle.

Jika kita mau menjadi negara yang kaya dan maju, haruslah dimulai dari pendidikan yang dibenahi dengan benar, sewajarnya sebagai negara besar dengan jumlah generasi usia sekolah yang sangat banyak.


Sudah sewajibnya juga menerapkan seefisien mungkin cara ajar mengajar anak-anak. Sekolah di Indonesia saat ini bagi anak-anak hanyalah tempat menghabiskan waktu (umur) sehingga sekolah tidak menjadi tempat yang tepat untuk mencerdaskan tunas bangsa.


Usia sekolah dasar mempunyai makna yang besar untuk seorang anak bisa menatap dunianya dengan secercah harapan. Penulis bertemu seorang ibu yang tiada hentinya berterima kasih kepada ayahnya yang hanya seorang tukang pangkas rambut di bawah pohon. Walaupun ayahnya seorang yang sangat miskin, dia terus berjuang untuk anaknya bisa sekolah.


Sang ayah sangat rajin untuk memohon beasiswa/bantuan kepada dermawan yang dikenalnya agar bisa anaknya menyelesaikan sekolah dasarnya. Minimal bisa membaca dan menulis, demikian impiannya. Sang anak pun tidak menyia-nyiakan kegigihan sang ayah yang berusaha untuk mencerdaskan dirinya. Sehingga anak tersebut bisa hidup dengan prestasi yang tidak semua orang mudah mendapatkannya.


Pembentukan Karakter

Seorang pelajar sekolah dasar menghabiskan 5- 6 jam (banyak yang lebih lama) satu hari hidupnya di lingkup sekolah, sehingga pembentukan karakter sangat ditunjang dari lingkup dalam pendidikan di sekolah. Tetapi sistem sekolah sekarang melupakan pendidikan hati nurani, ketika pemberdayaan budi pekerti sangat minimal, bahkan hilang dari karakter anak-anak. Sikap kritis anak menjadi salah arah, bahkan mereka condong hanya menjadi generasi peniru/menjiplak apa yang mereka lihat, dan sikap arogan yang tecermin dari maraknya tawuran pelajar.


Misalnya, sikap mahasiswa yang kita tahu dari cara dia memandang apa yang terjadi di negaranya yang tidak mereka pahami. Itu terlihat dari demo yang mereka gelar yang hanya berisi hujatan, protes ketidaksetujuan, tetapi tidak bisa memberi solusi dari apa yang mereka kritik/tidak puas.


Sebagai tingkat yang paling tinggi dari siswa, seyogianya mahasiswa memberi contoh kepada adik-adik kelasnya untuk bisa bersikap demokrasi yang benar, membiasakan berdemokrasi dalam arti yang sesungguhnya. Yaitu sikap bermusyawarah, gotong royong, jujur, dan berwawasan luas yang bijaksana (membantu memberi pemikiran/solusi), bukan sikap hujat-menghujat, saling menyalahkan, dan menghalalkan segala cara untuk menonjolkan diri.


Dunia pendidikan harus menjadi prioritas utama, selain masalah korupsi yang menjadi virus yang meruntuhkan pertahanan (baca: keberadaan) suatu bangsa di negara yang luas bernama Indonesia. itulah PR (Pekerjaan Rutin) yang harus dikerjakan Kabinet Indonsia Bersatu di bawah pimpinan duet Susilo Bambang Yudoyono dan Jusuf Kalla.


ditulis oleh : Lianny Hendranata

untuk "Suara Pembaruan" edisi 13 Febuari 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar