Jumat, 08 Mei 2009

Membangun Hidup Pascatrauma

Membangun Hidup Pascatrauma

Trauma, adalah gangguan anxietas atau kecemasan patologis yang umumnya terjadi setelah seseorang mengalami guncangan jiwa yang berat, yang mengancam secara fisik dan jiwa orang tersebut. Ada juga trauma yang terjadi akibat penganiayaan psikis secara terselubung.


Trauma jiwa juga bisa terjadi terhadap seseorang yang pernah melakukan perbuatan yang menurut perasaannya, itu perbuatan salah! Karena itu, trauma yang dirasakan lebih pada perasaan dihantui kesalahan sendiri, dan ketakutan akan hal tersebut terjadi kepada dirinya.


Guncangan jiwa ini, sangat mempengaruhi kualitas hidup selanjutnya. Kurangnya perhatian dari orang di sekelilingnya dan pengetahuan yang tidak tepat terhadap masalah kejiwaan dalam masyarakat, maka banyak penderita bertambah parah.


Banyak trauma jiwa yang terjadi, misalnya trauma karena bencana alam, kekerasan dalam rumah tangga, kecelakaan, bencana psikis karena ulah manusia, dan penganiayaan/teror psikis antarrelasi dalam masyarakat. Trauma banyak jenisnya dan ragam kejadiannya, yang tentu saja efek yang terjadi, antara ringan dan beratnya sangat individual.


Sesuatu yang sepele, belum tentu sepele untuk orang yang mengalami suatu trauma kejiwaan. Bencana yang ditimbulkan alam sulit dipahami maknanya.


Yang jelas itu benar-benar peristiwa alam. Sebab, proses alam tidak bermaksud menjadikan manusia susah, sehingga jangan dipandang sebagai kutukan Tuhan.


Trauma jiwa akibat bencana alam, berbeda dengan trauma jiwa yang terjadi antarindividu. Apa pun kejadian yang dialami seseorang, yang menyebabkan dia trauma, tentu sangat membutuhkan terapi "perbaikan" untuk jiwanya, agar mampu melanjutkan hidupnya.


Gejala

Gangguan pascatrauma, berupa gejala-gejala yang ditimbulkan antara lain, gejala anxietas (kewaspadaan berlebih, panik, fobia, gangguan tidur dan sebagainya), gejala depresi (murung, lesu, kehilangan semangat hidup, putus asa, pikiran untuk bunuh diri, dan sebagainya), perubahan kepribadian (paranoid, agresif, kemarahan yang mudah meledak- ledak, emosi labil, pesimistis, sinis), dan keluhan psikosomatis kronis.


Tentu saja pada era kehidupan modern yang sibuk, kita perlu satu alternatif keterampilan yang bisa dipelajari dengan cepat, tepat dan aman untuk mengatasi masalah kejiwaan. Susah sekali seseorang bisa segera sadar, jika dirinya butuh pertolongan berupa konseling, atau bicara dengan orang lain agar bisa melepaskan trauma terhadap dirinya.


Beberapa orang menjadi sangat agresif, ketika dihadapkan pada bayangan atas perbuatannya. Sebagai contoh kasus, di mana seorang wanita mendapatkan suaminya sekarang, dengan jalan mengucilkan istri pertama dari sang suami ini, maka trauma dari hal ini, membuat dia terus berfantasi hal yang sama juga bisa/akan terjadi kepada dirinya, keadaan trauma (perubahan kepribadian, sikap paranoid) menjadi tambah parah, jika suatu saat, cermin dari kelakuannya ini berdiri di hadapannya.


Cermin itu berupa, wanita lain yang dia anggap mampu untuk mengucilkan dirinya, sama persis seperti yang dia lakukan dulu, padahal wanita yang dia anggap cermin dirinya, belum tentu akan melakukan hal yang sama, jadi efek trauma dari perbuatannya dulu akan terus menghadang jalan hidupnya, dia selalu menengok kebelakang pada kejadian lalu atas perbuatannnya sendiri, sampai melupakan untuk melihat ke depan dan menyongsong masa depan sendiri.


Hidup dengan orang yang punya gangguan trauma, ibarat pasir isap yang akan terus mengisap pasangannya untuk masuk ke dalam lubang

gelap kejiwaan, yaitu depresi. Banyak kasus bunuh diri, karena tidak tahannya, jiwa seseorang berhadapan dengan cermin dan melihat bayangan perbuatannya sendiri.


Berubah Sukarela

Perubahan memang menyakitkan dan memerlukan inteligensia yang tinggi dan fleksibilitas dari jiwa. Karena itu, jika kita melihat terus cermin kelakuan yang membuat kita gila, tanpa mau berubah, maka hidup tidak ada lagi cinta dan kepercayaan, yang terjadi hanya melihatkan ego atau gengsinya saja.


Untuk mempertahankan ego itu, akhirnya, kehilangan orang yang tak dimaksud untuk menghilang dari dirinya. Perasaan kehilangan, membuat trauma baru untuk dirinya, dan membuat bayangan di cermin kelakuannya semakin menyeramkan, semakin agresif menuntut jiwanya berbuat di luar nalar.


Seperti Frans Fanon, seorang filsafat dan psikiater dari Prancis, mengatakan, "seseorang yang trauma perasaan dengan orang kulit putih, akan merasa puas jika bisa menikahi orang kulit putih, seolah dia sekarang bisa balas dendam dengan merasa, sudah menjadi bagian dari orang berkulit putih tersebut.


Contoh kasus pada wanita ini pun sama, trauma mengucilkan istri pertama suaminya, membuat obsesi kepada dirinya berkeinginan menjadi yang pertama dan dan diakui sebagai istri satu-satunya. Padahal, hal ini tidaklah mungkin!


Hal ini sama seperti orang kulit hitam yang menikahi orang kulit putih tadi, tentu tidak akan serta-merta kulitnya berubah menjadi putih, dan dia diakui sebagai orang kulit putih, sebab warna kulitnya tidak bisa disembunyikan, demikian juga keadaan wanita ini, yang kita ambil sebagai contoh kasus, dia tetap bukan istri pertama, dan satu-satunya dari sang suami. Ini trauma yang harus dilepaskan jika dia ingin sembuh, dan terlepas dari jeratan frustasi berkepanjangan.


Di tengah berbagai stigma negatif itu, jiwa wanita kebingungan ini mencari jati dirinya, coba mengembangkan ide-ide yang terasa akan melepaskan dirinya, dari stigma negatif tersebut tanpa menimbang-nimbang terlebih dahulu, kebrutalan jiwa dilepaskan dengan teriakan dan teror untuk orang lain.


Setiap manusia tentu punya langkah berbeda mencari jalan kemerdekaan untuk jiwanya sendiri, yang terbaik adalah bisa berubah secara sukarela, ada yang memilih menyesuaikan diri sepenuhnya dengan trauma dan cermin kelakuannya, ini berarti pengorbanan yang sangat besar dari jiwanya. Jarang orang yang memilih mengorbankan diri sendiri, maka yang banyak terjadi korban harus dari luar dirinya.


Kebanyakan yang ada, memilih dengan jalan argumen keras sampai mendatangkan konflik. Ini yang membuat orang di sekelilingnya seperti diam dalam lingkaran pasir isap, dan menjadi depresi parah ketika hidup bersamanya.


Dalam kultur sekuler yang membelit jiwa (wanita) ini, sangatlah wajar apabila kebahagiaan distandardisasi dengan nilai-nilai yang bersifat duniawi, yakni terpenuhinya sebanyak mungkin kebutuhan jasmani atau menumpuknya ego, serta haus menjadi yang terbaik versi diri sendiri.


Yang akhirnya memicu untuk bersaing mendapat perhatian sebanyak-banyaknya, sehingga peran utama sebagai istri yang mengurusi rumah tangga dan peran ibu dari anak anaknya, sering diabaikan dan dianggap tidak berarti, karena tidak memberikan kontribusi pada kepuasannya jiwanya.


Perubahan itu harus dimulai dari diri kita sendiri, untuk menjalankan prinsip-prinsip dasar kehidupan. Untuk menjalani kehidupan, kita sudah dibekali potensi dalam diri, yang terdiri atas kebutuhan jasmani dan naluri, serta nurani, kita mempunyai hak dan kewajiban yang sama sebagai sesosok manusia.


Kewajiban utama kita menjadi diri sendiri, hidup tanpa topeng untuk menyenangkan orang lain, atau mendapat pengakuan sebagai orang baik, padahal kelakuan kita jauh dari kata 'baik'. Kita tidak perlu menjadi yang terbaik di antara orang lain, cukup menjadi yang terbaik yang bisa kita buat dan lakukan.


Kita akan mampu melakoni peran dalam kehidupan ini, kita mampu mengikis trauma jiwa, jika kita mampu menyadari bahwa hari kemarin adalah sejarah, hari esok adalah fantasi, tetapi hari ini kepunyaan kita, karunia yang harus disyukuri apa pun yang terjadi pada hari ini.


Hidup bukan untuk dipahami, tetapi dinikmati dengan rasa bersyukur, buang segala ganjalan di hati, dan lepaskan segala trauma (ketakutan) yang membelenggu jiwa, dan songsonglah masa depan penuh harapan, pandanglah segala hal dengan pikiran positif, maka hal positif akan terjadi pada hidup kita.



ditulis oleh : Lianny Hendranata untuk 'Suara Pembaruan"

edisi 9 November 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar