Kamis, 14 Mei 2009

Hindari jebakan Jiwa bernama Kesepian

Hindari jebakan jiwa yang bernama “Kesepian”


ditulis oleh Lianny Hendranata untuk "Suara Pembaruan" edisi 26 Agustus 2006


Siapa tidak pernah kenal kata “Kesepian” semua orang tak terkecuali, suatu kali pernah mengalami apa yang dimaksud dengan kata ini.


Kesepian, merupakan ‘jebakan’ jiwa yang perlu perhatian, serta mampu disadari ketika kita mengalaminya. Dan kita tidak larut untuk masuk kedalamnya, yang mana bisa merupakan sebuah ‘penjara’ jiwa yang bisa sangat menyiksa, membawa kita dalam depresi parah.


Kesepian yang dimaksud sebagai “penjara” jiwa adalah bukan semata suatu situasi yang dialami seseorang, ketika dalam keadaan seorang diri. Tetapi kesepian jenis ini lebih dimaksud dengan kata kiasan yaitu anda mengalami “kesepian ditengah keramaian”.


Seseorang yang terjebak dalam ‘penjara’ jiwa yang bernama kesepian ini, tentu bukan berarti dia orang yang tidak punya teman atau handai taulam, tetapi kesepian ini ádalah dimana situasi ‘kesepian’ yang bersifat pribadi, tidak ada kaitannya dengan ‘keramaian’ yang ada disekitar kita.


Anehnya kita tidak terpengaruh dengan hiruk pikuk disekeliling kita. Hanya saja merasa adanya rasa sepi dalam jiwa kita, yang mana bisa diikuti dengan emosi pesertanya, yaitu rasa sedíh, cemas, dan rasa marah pada diri sendiri.!



Kita sendiri saat mengalami atau mungkin suatu hari kita melihat, seorang teman disuatu pesta yang meriah, ramai dengan canda serta diisi gelak tawa. Tapi kita atau seseorang terlihat “termenung” dan terhentak kaget waktu ada yang menyapanya, seolah dia baru tersadarkan dari lamunan. Bagaimana mungkin seseorang dalam suasana pesta meriah bisa melamun sendiri..? Nah ilustrasi seperti itulah yang dimaksud dengan “kesepian ditengah keramaian”



Faktor yang menjebak

Banyak faktor yang bisa menjebak kita dalam kebiasaan dengan “kesepian’ jiwa ini, diantaranya adalah kebiasaan kita sendiri yang selalu tenggelam dalam “situasi” pribadi, dimana kita begitu terhanyut, berlarut-larut dengan apa yang kita alami dalam keseharian, hinga timbul depresi yang tidak terungkap keluar.


Contoh yang paling umum adalah suasana libur akhir pekan, dimana kita sudah menghabiskan waktu bersama teman-teman dalam kerutinan sepanjang minggu, begitu tiba akhir pekan, semua teman mengajak kita sedikit bergembira dengan berkaroke atau sekedar makan malam ramai-ramai.


disaat yang seharusnya kita tenggelam larut dalam keramaian dan kegembiraan, tetapi kita malah melamun, bertanya-tanya dalam hati: “besok hari libur, apa yang saya akan kerjakan..? kemana saya akan pergi.? Siapa yang akan bersama saya ?, apakah keluarga saya bisa bersama saya..? ”Nah pertanyaan demi pertanyaan akan mejebak kita dalam lamunan yang akhirnya kita terseret masuk kedalam situasi ‘Kesepian ditengah keramaian pesta’


Dengan “penjara” jiwa yang bernama “kesepian” ini, banyak orang tanpa sadar sudah menjadikan dirinya ‘pabrik’ keluhan baik verbal atau non verbal. Banyak orang tidak menyadari bahwa gangguan fisik yang dialami justru diakibatkan keadaan psikisnya.


Menurut psikolog terkenal, Sigmund Freud, kecemasan yang terjadi ini akibat adanya dorongan impuls yang ditekan ke dalam alam bawah sadar dan tidak terpenuhi atau terpuaskan.


Kalau sudah begini, banyak dokter menyimpulkan bahwa, obat-obatan tidak diperlukan termasuk obat penenang, dan obat tahan sakit, sebab percuma dengan konsumsi obat-obatan, tetapi piskisnya tidak diobati (diterapi) maka keluhan seperti merasa diri menderita berbagai penyakit, mulai dari pegal-pegal, sakit kepala tanpa sebab, berlanjut kepada sesak nafas, dan sebagainya, padahal semua pemeriksaan labotorium dan banyak alat kedokteran menyimpulkan pasien dalam keadaan normal alias sehat-sehat saja. Tapi kenyataannya sang pasien banyak keluhan. Maka satu-satunya adalah penyembuhan psikoterapi yang harus dijalankan.!


Sosialisasi psikoterapi

Umumnya di Indonesia, sebagian masyarakatnya merasa bahwa berurusan dengan seorang ahli jiwa, pastilah seseorang yang menderita / bermasalah dengan penyakit kejiwaan yang orang awam simpulkan sebagai penderita gila. Maka tidaklah heran , ketika dokter merujuknya agar ke bagian psikiatri dia enggan "Nanti saya dikira gila," ucapnya. Selama ini sang pasien pun merasa tidak pernah ada masalah khususnya dalam kehidupan pribadinya atau rumah tangganya.


Penulis mempunyai pengalaman pribadi dengan seorang teman, ketika penulis menganjurkan untuk melakukan Psikoterapi untuk melihat adanya konflik yang mendasari keluhan-keluhan fisik yang diderita, maka sang teman marah-marah karena dia menganggap penulis sudah mencapnya sebagai orang gila, padahal yang dia keluhkan hanyalah sakit fisiknya yang tidak pernah sembuh, setiap hari ada saja yang dirasakan tidak nyaman mulai dari sakit kepala sampai diare hebat, dan sesak nafas.


Mungkin sangatlah perlu para dokter yang didatangi pasien-pasien yang mempunyai keluhan berlarut-larut, dengan hasil pemeriksaan dalam batas normal (sehat) untuk mensosialisasikan seluas-luasnya bahwa menemui Psikiater bisa membantu pasien mengatasi konflik tersebut secara mandiri.


Dengan demikian bisa diharapkan mengurangi jumlah orang depresi terselubung, dan meningkatkan aktivitas kerja, sebab tidak bisa dipungkiri dibanyak perusahaan, angka absensi karyawan tertinggi adalah dikarenakan, sang karyawan menderita sakit yang tidak terditeksi dengan pemeriksaan alat kedokteran atau labotorium. Dengan kata lain secara fisik mereka adalah orang normal (sehat), tetapi dalam keseharian mereka menderita banyak gangguan / keluhan sakit penyakit .


salam bahagia bagi yang bersedia meninggalkan rasa "kesepian"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar