Selasa, 19 Mei 2009

Kebimbangan Rakyat ketika harus memilih



“Kebimbangan Rakyat, ketika harus memilih”



ditulis: Lianny Hendranata,


terbit di Suara Pembaruan edisi 16 Mei 2004



Seorang anak yang baru merayakan ulang tahunnya yang ketujuh belas, dengan bangga berkata pada ibunya: “ ibu, tahun ini suaraku bisa turut menentukan siapa yang layak menjadi pemimpin negri kita ini ”



Setiap proses pemilihan Presiden, memang banyak anak-anak yang bertumbuh dewasa, yang menjadi penyumbang suara baru yang pertama mereka lakukan, untuk penentu pilihan pada siapa mereka akan menjatuhkan pilihannya, dan mengantungkan masa depannya untuk dipimpin oleh pemimpin yang mereka idolakan.



Sayangnya, yang terjadi saat ini dimana banyak anak-anak usia potensial sebagai tunas-tunas bangsa, lebih banyak terombang - ambing dalam banyak hal yang membuat negri ini menjadi bertambah keruh. Seandainya masing-masing individu dinegri ini punya keasadaran akan hak dan kewajibannya masing-masing. Mungkin yang terjadi lebih baik.


Kembali ketugas hidup masing-masing


Dunia ini diibaratkan sebagai pangggung sandiwara, ceritanya mudah berubah, banyak peranan yang harus dijalankan. Demikian penggalan lagu Ahmad Akbar.


Kapan Indonesia bisa hidup tentram rukun dan makmur? jika kita selalu beralih peran dengan seenaknya! Menyerobot hak orang lain, menjalankan yang seharusnya menjadi kewajiban orang lain. Sedangkan kewajiban sendiri ditinggalkan begitu saja.


Padahal setiap peranan punya tanggung jawab terhadap pemberi kehidupan ini. Kita dituntut menjalani peran dengan penuh tanggung jawab, mengenal kewajiban dan juga memperoleh hak sesuai amal ibadah kita, sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang paling mulia. Yang tercipta berbeda dengan hewan yang tidak mempunyai nurani.


Saat ini kita melihat, bagaimana orang meninggalkan kewajibannya dengan seenaknya, dan beralih merebut hak orang lain, seperti contohnya pelajar, yang seharusnya berkewajibannya belajar! Tapi meninggalkan kewajibannya dengan mengklaim diri menjadi preman jalanan, yang diperankan dengan bagus. Berjalan untuk tawuran dengan melempar batu, kayu dan benda tajam, menganiaya sesama pelajar dan mengacaukan lalulintas.


Bukan saja jadi preman jalanan yang mereka perankan, tapi kadang jadi perampok, penodong bahkan membajak bis. Yang membuat hati miris, mereka juga dengan amat bagus memerankan peran sebagai pemabuk, pecandu obat-obat terlarang dan masih banyak lagi peran-peran bejat yang mereka laksanakan. Sementara kewajibannya untuk mencerdaskan diri sebagai pelajar, mereka tinggalkan!


Tak ketinggalan Mahasiswa, yang menjadi tingkat paling tinggi dari arena belajar mengajar, menjadi maha nya siswa. Mereka meninggalkan kewajibannya dengan pergi menjadi pembawa spanduk berisi kata-kata yang dipamerkan di-jalan-jalan.


Tak jarang si maha-siswa ini berubah menjadi penghujat, pembangkang, pelanggar peraturan memacetkan jalan, dan menjadi pelempar batu, menjadi lawan tanding dengan aparat. Dan terakhir di Makasar mereka berperan menjadi penyandera polisi dan menjadi bulan-bulan pemukulan para polisi yang menyerang kampus mereka.


Jangan salahkan nasib, jika beberapa mahasiswa harus menjadi penderita geger otak karena kepalanya sampai bocor dipukul dengan keras oleh aparat yang marah dan merasa terhina. Para orang tua terpaksa membiayai anak-anak mereka korban kekonyolan ulah mereka sendiri, yang seharusnya belajar…belajar… mencerdaskan diri untuk menjadi tunas bangsa, tapi memerankan peran lain yang akhirnya membawa musibah untuk diri dan keluarga, dan masa depan pun menjadi gelap karena harus menjadi orang cacat dan tak jarang menjadi korban dengan istilah ‘mati muda yang konyol’


Banyak pemuka agama pun, tidak mau kalah tanding. Sekarang mereka pun beralih peran menjadi Capres, menjadi Pejabat, menjadi Caleg. Mereka sibuk mempropagandakan diri untuk meraih jabatan puncak dan nama besar! Kewajiban menganyomi/ membina iman/ ibadah umat ditinggalkan, yang ada dibenak hanyalah kekuasaan, kedudukan, dan harta!


Pengusaha tidak mau ketinggalan, mereka juga beralih peran, seharusnya mereka memikirkan bagaimana lencarnya perekonomian bangsa, mereka sekarang malah sibuk mencoba meraih kursi Caleg, bahkan kursi puncak pimpinan yaitu kursi Presiden!



Jadilah pemimpin dalam arti positif



Maut bukanlah kehilangan terbesar dalam hidup, Kehilangan terbesar adalah apa yang mati dalam sanubari sementara kita masih hidup (Nourman Counsins)


Banyak orang mencari bahagia, namun lupa kesejahteraan. Banyak orang mencari surga, namun lupa dunianya !. Banyak orang mencari kemasyuran, namun lupa rakyatnya!


Pikiran adalah awal segalanya, : “Pikiran harmonis ibarat alas kaki yang akan melindungi kita dalam menempuh perjalanan hidup yang selalu berubah”


Suatu cara berpikir telah menjadi standar bagi berpikirnya seseorang atau telah menjiwai caranya bertindak dan pada umumnya terpupuk melalui kurun waktu yang cukup panjang, sehingga cukup sulit untuk diubah dalam waktu singkat. Bisa dikatakan Pikiran menjadi penyebab keterikatan dan kebebasan Manusia.


Menjadi seorang pemimpin, sesuatu hal yang menyenangkan? Banyak orang yang setelah tiba dipuncak mengatakan, : ‘saya sangat lelah mengurus semua yang ada dibawah, sementara saya berada diatas’


Seorang yang berada diatas harus membungkukkan dirinya jika ingin melihat jari kakinya, maka seorang pemimpin pun harus mau membungkuk untuk melihat orang kecil yang dipimpinnya. Bahkan pembina imam terkenal AA Gym memberi nasihatnya: ‘seorang pemimpin, harus jadi pemimpin dalam keteladanan’


Mengutip kata-kata seorang penulis, yang mengatakan Pemimpin adalah seorang Pemimpi + N. Diterjemahkan sebagai seorang Pemimpi yang bisa memimpikan Indonesia sebagai negara besar yang berdaulat penuh dengan kemakmuran dan kesejahteraan lahir batin rakyatnya. Dan seorang pemimpin harus punya (tanda tambah) huruf N yang dijabarkan sebagai Nurani, Nilai, Natural (alami).


Beberapa kali Indonesia mempunyai Pemimpin yang bagus dalam bermimpi, sayangnya tidak ada tambahan huruf N yaitu Nurani, Nilai, Natural (kebijaksanaan alami seorang manusia). Maka pemimpin hanya menjadi seorang pemimpi!



Psikologi ketika rakyat harus memilih


Pembaca tentu sudah pernah mendengar, perumpamaan/ kiasan kata yang mengambarkan suatu situasi yang sangat menekan bagi seseorang yaitu: ‘ibarat makan buah simalakarma, jika dimakan ayah yang akan mati, jika tidak dimakan sang ibu yang akan mati’.



Nah, dalam kondisi yang harus dihadapi seperti itu, dimana karenakan keduanya merupakan orang tua yang kita hormati dan sayangi, maka yang terjadi tidak mungkin seorang anak bisa dengan mudah menentukan pilihan. Hal mana itulah yang terjadi dibanyak hati rakyat Indonesia saat ini, betapa sulit menentukan siapakah yang akan dipilih untuk menjadi pemimpin negri tercinta.


Beribu kali doa dipanjatkan, agar pilihan bisa menjadi sumbangan berharga untuk negri ini, agar jangan salah untuk memberi suara yang mana menentukan cerah atau gelapnya

negri kita ini.


Semoga para calon pemimpin punya program yang jelas dan transparant untuk diperlihatkan dan dinilai oleh rakyat, dan janji untuk mencerahkan negri ini bukan hanya propaganda yang akan men-gol anda semua naik kekursi pimpinan, tapi merupakan sebuah tekad dan misi hidup yang dipertanggung jawabkan pada sang Pencipta di saat kita meninggalkan dunia yang fana ini.


selamat menentukan pilihan anda,

L.H



Tidak ada komentar:

Posting Komentar