Kamis, 07 Mei 2009

Merdeka dari Penjara Mental


Merdeka dari Penjara Mental

http://202.137.4.125/indeks/News/2009/01/11/Psikolog/psi01.htm


Banyak dari kita tanpa sadar membuat penjara mental untuk diri sendiri, sulit menyadari potensi-potensi diri sendiri dan lebih percaya pada apa yang orang lain katakan tentang kita.


Ketika kita dikatakan, bodoh, maka kita mudah menjawab, dengan mengatakan, "ya memang itu bukan bidang saya." Ketika orang mengatakan, kamu tidak cocok menangani kerjaan ini, maka dengan mudah kita mengatakan, "ya, memang kerjaan ini terlalu sulit untuk saya." Begitu juga ketika orang mengatakan, penyakit Anda sulit disembuhkan, maka pikiran kita langsung mengatakan memang benar, hidup saya tidak ada harapan lagi.


Penulis sebagai orang Indonesia juga sadar, bahwa kebanyakan dari kita mudah menyerah, pasrah pada nasib, seolah nasib ditentukan oleh lingkungan, dan kita sendiri tidak mempunyai tanggung jawab memperjuangkan hidup kita sendiri. Dan ironisnya lagi, kita tidak mau memberontak terhadap apa kata orang, atas keadaan.


Sudah saatnya kita memerdekakan diri dari belenggu yang kita buat sendiri, yaitu perasaan pesimistis dan mudah menyerah. Kemerdekaan adalah jembatan emas, yaitu peluang untuk kita menjadi sukses, dan tidak diam dalam keputusasaan. Dalam lingkup kerja, jika ada permasalahan, kecenderungan pertama adalah melempar tanggung jawab. Masalahnya, semua orang menganggap itu bukan bidang saya. Akhirnya, tidak ada yang mengambil tindakan apa-apa. Maka, terjadilah lingkaran kronis problem tentang siapa yang bertanggung jawab.


Nancy Matthews Edison (1810-1871) mengatakan, selalu ada 1001 alasan untuk menyerah, namun orang yang berhasil adalah orang yang tidak memutuskan untuk menyerah. Dia selalu bisa menemukan sebuah alasan untuk tidak menyerah.


Semua orang ingat dan kenal Thomas Alfa Edison yang memengaruhi sejarah dengan banyak penemuannya. Sebanyak 1.093 paten penemuan atas namanya telah tercipta. Tetapi, siapakah di balik kisah sukses bocah tuli yang bodoh ini, sampai diminta keluar dari sekolah, akhirnya bisa menjadi seorang genius?


Itulah berkat kegigihan sang bunda, Nancy Matthews Edison, ibu yang tidak pernah putus asa, ibu yang dengan gigih mengajar anaknya sampai mampu membaca dan menulis, ibu yang bersedia kerja keras untuk membangun pribadi dan kepercayaan diri anaknya. Ibu yang tidak pernah menyerah dengan keadaan dan ejekan lingkungan. Di sinilah letak berani ambil tanggung jawab. Ibu yang mempunyai anak bermasalah ini, berani memerdekakan dirinya dari belenggu masalahnya, berani menanggung apa yang harus dia lakukan terhadap apa yang terjadi pada hidup dirinya dan anaknya.


Salah satu penyakit dalam diri yang merusak manusia adalah perasaan tidak puas diri. Jika tidak puas diri, kita tanggulangi dengan perjuangan positif, dan itu bisa diberi acungan jempol. Tapi, jika perasaan tidak puas diri kita perjuangkan secara negatif, kita akan menerima sanksinya sendiri. Contoh rasa tidak puas diri, iri melihat orang lain lebih cantik, lebih populer, lebih sukses dalam banyak hal dibanding diri kita. Akibatnya, dengan serta- merta kita berjuang merusak citra diri orang tersebut, berjuang dengan banyak intrik kotor. Dengan demikian, kita tengah menunggu saatnya, dimana semua orang berbalik membenci kita dan memuji orang yang membuat kita iri. Karena hukum tak tertulis, apa yang kita tabur, itu yang kita dapat. Kita menabur perkataan kotor, kita akan mendapatkannya kembali. Kita menabur kebencian, kita akan memperoleh kembali apa yang kita sebarkan, sebagai bibit aksi dan reaksi lingkungan.


Kebahagiaan Semu

Tidak ada penyakit lain yang lebih berbahaya dari rasa bangga diri, bangga atas apa yang kita miliki, bangga atas apa yang kita dapat, dan merasa bangga dengan nasib kita, tapi kebanggaan ini versi diri sendiri. Kebanggaan ini didapat dan dirasakan dengan mencemooh, mengecilkan, menghina orang lain. Maka, rasa bangga diri yang semu membuat seseorang menjadi budak nafsu ambisinya sendiri. Kita selalu hidup mengejar nafsu. Sesungguhnya, semua itu adalah fatamorgana dari kebahagiaan semu.


Nafsu berkuasa atas nasib orang, nafsu untuk merusak orang lain, siang malam merenda apa yang harus dilakukan untuk mengalahkan orang lain, tidur pun tidak nyenyak jika belum puas membuat rusak nama orang lain. Semua ini dilakukan supaya kita terlihat paling bagus. Akhirnya nafsu menguasai diri kita, sehingga meruntuhkan kehidupan kita. Sementara itu, orang yang jadi target diinjak untuk jadi papan jungkit mendongkrak citra kita dan hidup tenang-tenang saja. Mereka tidak merasakan apapun dari ambisi nafsu orang yang bertujuan menjatuhkannya. Jadi yang kita kejar lama-lama menjadi hampa. Oleh karena itu, kita harus mengoreksi diri sendiri dari penyakit-penyakit ego tersebut.


Orang yang sadar sudah membuang penyakit ego, sudah memulai hidup dengan banyak berpikir untuk membahagiakan orang lain, minimal sudah membagikan senyum manis yang penuh optimistis untuk orang di sekitarnya, dan sudah sadar untuk berbuat demi orang lain, tanpa bertanya, apa untungnya untuk diri sendiri. Secara sadar kita ikhlas berbuat untuk kepentingan orang banyak. Dengan demikian kita tidak lagi hidup dengan ego pribadi, namun biarkan jiwa menuntun hidup kita untuk merasa bahagia, dengan bagaimana melayani orang-orang lain.


Spiritualitas

Spiritualitas seseorang tumbuh dengan baik karena ada pengalaman hidup yang benar-benar melebur diri dengan apa yang namanya arti hidup. Pengalaman hidup, sangatlah penting untuk dijadikan refleksi dari kehidupan itu sendiri. Bukan berarti kita selalu menengok pada masa lalu. Tetapi kita tetap memfokuskan pandangan pada masa depan dan melihat masa lalu sebagai pembelajaran. Hal yang sudah terjadi di masa lalu tidak bisa direvisi, tetapi masa depan bisa direncanakan untuk menjadi lebih baik, dengan belajar dari kesalahan pada masa lalu.


Pada umumnya, kata spiritual selalu dikaitkan dengan keimanan/kepatuhan seseorang, dalam hal keagamaan yang berkaitan dengan ritual keagamaan itu sendiri. Padahal, spiritual dan ritual adalah dua hal yang berbeda, dan sangat terpisah penerapan dan kegunaannya untuk kesehatan jiwa kita.


Spiritual, bisa dikatakan sebagai refleksi hidup, yang erat dengan keterbukaan, bersifat mudah menerima, sabar, terbuka dengan wawasan baru, dan sadar bahwa yang dalam hidup ini lebih besar yang belum kita jalankan, bahkan lebih banyak yang belum kita ketahui, daripada yang kita pikirkan.


Umumnya di masyarakat, banyak yang terjebak dalam tidak bisanya membedakan antara ritual dan spiritual. Maka, terjadilah hal-hal yang menyesatkan bahkan pertikaian antar agama, banyak disebabkan karena kesehatan jiwa teracuni oleh ketidakpahamannya, untuk bertoleransi pada ritual-ritual masing-masing kepercayaan.


Spiritual sifatnya universal, tidak terbatas, terkotak-kotak. Tapi ritual identik dengan keyakinan dan kebiasaan masing-masing orang, yang dalam hal ini sebagai salah satu contoh ritual keagamaan. Maka kerancuan terjadi, banyak orang selalu mengaitkan orang yang melakukan ritual keagamaan tertentu dengan rajin dan patuh, adalah orang yang spiritualnya tinggi. Padahal itu belum tentu benar dan bisa terjadi malah sebaliknya.


Nah di sinilah letak perbedaan, bahwa spiritual seseorang bisa menyehatkan jiwanya, walaupun dia tidak melakukan ritual-ritual, jika dia mampu merefleksikan spiritualnya dalam bentuk perbuatannya, yang mendatangkan kedamaian, keharmonisan jiwanya dan lingkungannya. Sedangkan ritual-ritual, belum tentu mampu mendatangkan kedamaian, keharmonisan jiwanya sendiri dan lingkungannya jika tidak adanya refleksi spiritual dalam hidup.


Niat batin lebih kuat dari keinginan otak (yang dipikir). Maka orang yang berkutat dengan ego mau menang terus, umumnya orang yang belum mengerti arti melebur hidup pada kehidupan itu sendiri. Dia perlu kekuatan yang dalam hal ini berbentuk pelepasan intrik-intrik membangun citra diri semu, dengan keliaran ambisi, bahwa dia harus tetap jadi pemenang, orang lain hanya pecundang yang malang. Sungguh kasihan jiwa-jiwa yang terbelenggu dengan penjara mental yang diciptakan sendiri dan untuk dipakaikan pada dirinya sendiri.


ditulis oleh : Lianny Hendranata untuk "Suara Pembaruan" edisi 11 Januari 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar