Jumat, 08 Mei 2009

Menyalahkan Orang, Hobi Kejiwaan yang Tak Diakui


Menyalahkan Orang,
Hobi Kejiwaan yang Tak Diakui



Banyak hobi yang bisa membuat bahagia dan bangga orang yang mengklaimnya. Seperti hobi membaca, olahraga, mendesain, masak dan masih banyak lagi hobi-hobi yang panjang sekali ragamnya jika dituliskan disini.

Tetapi dari sekian banyak hobi yang kita akui. Ada hobi yang tidak pernah kita akui baik secara tertulis maupun lisan, yaitu hobi menyalahkan orang atau pihak lain. Ternyata penganut hobi yang tidak diakui oleh diri siempunya hobi ini, banyak jumlahnya.

Coba kita lihat tayangan televisi atau membaca koran, mulai dari menyalahkan orang lain yang buang sampah sembarangan, dan menjadi penyebab banjir, bahkan menyalahkan alam yang tidak becus mengatur iklim. Kita mengklaim diri, sebagai yang selalu benar!, yang salah sich orang atau pihak lain.




Suatu kesan di mana banyak orang, terjebak kebiasaan yang akhirnya menjadi kesukaannya, sebagai hobi tak terakui, bahwa dirinya, selalu menyalahkan orang lain, terutama untuk hal yang tidak mengenakan yang terjadi untuk dirinya, jarang bahkan mungkin sulit ditemui seseorang, mau mengakui dan mengatakan hobi saya adalah "menyalahkan diri saya sendiri, jika didapat hal yang tidak enak atau tidak diharapkan terjadi pada saya!"



James A. Salam, seorang pengamat sosial yang bermukim di Belanda, dengan latar belakang berpengalaman sebagai personal manager perusahaan Multinasional Belanda, dan sebagai konsultan tamu di "Inspiration Centre", yang bergerak dalam pelatihan interaksi personal dengan konsep Inspirasi Manajemen.

Di mana beliau mengamati tingkah laku orang, dalam bersosialisasi, interaksi relasi sebagai adaptasi dengan pasangan barunya, atau tempat kerja barunya, bahkan negara baru yang sekarang mereka hidup,dalam sebuah kesempatan wawancara dengan penulis mengatakan: "Banyak orang selalu
menempati dirinya menjadi 'sentralisasi' kata lain, minta diperhatikan, sementara masalah orang lain di-masabodoh-kan, dan senangnya menempatkan diri dalam posisi menjadi "korban'' dalam banyak situasi lingkup sosial relasi.

Dengan mengatakan hal ini, bisa saja diri kita sendiri terjebak dalam pepatah yang mengatakan: "Satu jari menunjuk hidung orang lain, keempat jarimu menunjuk hidung sendiri!"






Salahkan atau Syukuri.?



Daripada kita terjebak hobi "menyalahkan pihak/orang lain" mungkin bisa kita ambil jalan bijaksana, jika dalam perjalanan hidup kita berinteraksi, ketika kita menginjak kerikil tajam yang melukai diri kita, daripada kita menyalahkan kenapa ada kerikil tajam yang menyakitkan dalam perjalanan relasi kita, lebih bijaksana kalau kita berpikir, syukur kerikil ini terinjak sekarang, maka kita bisa melangkah lebih hati-hati dalam meneruskan perjalanan relasi ini.

Di bawah ini saya ajak pembaca, dengan seizin penulisnya yang tidak mau dituliskan namanya, membaca kisah ilustrasi yang bagus kita simak bersama, bahwa dalam banyak kenyataan kita terjebak hobi tak terakui yaitu: "menyalahkan orang lain"


Siapa Pencurinya...?

Pada suatu malam, seorang wanita sedang menunggu keberangkatannya di bandara, sedangkan masih ada beberapa jam sebelum jadwal keberangkatannya tiba. Untuk membuang waktu, ia membeli buku dan sekantong kue di salah satu toko di bandara itu, lalu menemukan tempat untuk duduk. Sambil duduk, wanita tersebut membaca buku yang baru saja dibelinya. Dalam keasyikannya tersebut ia melihat seseorang disebelahnya, dengan begitu berani mengambil satu-dua kue yang berada diantara mereka berdua.
Wanita tersebut berusaha mengabaikan agar tidak terjadi keributan, demikian pikirnya.

Dia membaca, mengunyah kue dan melihat jam. Sementara si "pencuri" kue yang pemberani menghabiskan persediaannya. Ia semakin kesal sementara menit-menit berlalu, wanita itu sempat berpikir setiap ia mengambil satu kue, orang itu juga mengambil satu. Ketika hanya satu kue tersisa, ia bertanya-tanya dalam hati: "Sekarang, apa yang akan dilakukan orang itu?"

Dengan senyum tawa di wajahnya dan tawa gugup, si orang itu mengambil kue terakhir dan membaginya menjadi dua. Orang tersebut menawarkan separuh miliknya sementara ia makan yang separuhnya lagi. Dan dengan kasarnya wanita itu, merebut kue itu tanpa sedikit pun
terbesit perasaan berterima kasih. Belum pernah rasanya ia begitu kesal dalam situasi begini.

Dia menarik napas lega saat penerbangannya diumumkan, dia mengumpulkan barang miliknya dan menuju pintu gerbang. Menolak untuk menoleh pada si "pencuri yang tak tahu terima kasih itu!". Demikian geram dia berkata dalam hatinya!

Ketika sudah di dalam pesawat dan duduk di kursinya, la berusaha mencari buku, yang hampir selesai dibacanya. Saat ia merogoh tasnya, ia menahan napas dengan kaget. Di situ ada sekantong kue. Kok milikku ada di sini..? erangnya dengan patah hati.

Jadi kue tadi adalah milik orang itu dan ia mencoba berbagi kepadaku. Terlambat sudah baginya untuk meminta maaf, sebegitu malunya membuatnya tersandar di bangku pesawat mengingat perilakunya yang buruk terhadap orang tadi.

Sesungguhnya dialah yang kasar, dan tidak tahu berterima kasih! Dialah sesungguhnya pencuri kue itu.

Dalam hidup ini, kisah "pencuri kue'' seperti itu sering sekali terjadi di kehidupan. Kita sering berprasangka dan melihat orang lain dengan kacamata kita sendiri, serta sering kali berprasangka buruk terhadapnya.

Orang lainlah yang selalu salah, patut disingkirkan, tak tahu diri, berdosa, selalu bikin masalah, pantas diberi pelajaran. Padahal, kita sendiri yang mencuri kue tadi, padahal kita sendiri yang tidak tahu berterima kasih. Kita sering mempengaruhi, memberi komentar, mencemooh pendapat, memberi penilaian negatif, mencela gagasan orang lain, sementara sebetulnya kita tidak tahu betul duduk permasalahannya.

Alam memang memberikan kita akal budi untuk berpikir, tetapi bukan berarti setiap masalah harus diselesaikan dengan mengandalkan akal budi semata,

tetapi harus memahami apa yang ada di depan mata, menyadari situasi dan kondisi yang ada, yang sering kali sulit dapat dimengerti melalui akal budi, setiap penyesalan tidak akan pernah terjadi di awal, dan kita tidak akan pernah bisa memutarnya kembali seperti jam demi jam, waktu yang sudah terbuang per- cuma dalam perjalanan hidup ini.

Demikian juga ulah wanita dalam kisah di atas, bagaimana bisa menemukan orang yang sudah dia salahkan, bagaimana bisa menyampaikan
maafnya yang menuduh orang lain yang salah.


Berlatih Mengikis

Begitu juga dengan iklim yang sangat ekstrem yang terjadi belakangan, dan ini terjadi merata diseluruh permukaan bumi, daripada kita
menyalahkan si A atau si X, lebih baik kita bersyukur bahwa alam sudah memberi kita peringatan sedini mungkin, bahwa kelakuan manusia terhadap alamnya sudah harus diperbaiki, maka pencegahan-pencegahan, dan sosialisasi tentang bahaya yang bisa menyebabkan timbulnya

bencana alam, kehancuran dunia bisa laksanakan.

Maka suatu kebijaksaan untuk segera membenahi dan memberi perlakuan yang nyata, bahwa dunia seperti apa yang akan kita wariskan kepada generasi selanjutnya untuk mereka tempati.

Kita memang hanyalah manusia yang tidak sempurna, pepatah mengatakan, tidak ada gading, yang tidak retak. Tetapi, hobi tak terakui yang kita punya, yaitu senang menyalahkan orang lain atau pihak lain untuk
suatu yang tidak enak, yang tidak mau terjadi pada kita, adalah suatu hobi yang perlu kita terus awasi dan berlatih untuk mengikisnya, agar jiwa kita tidak menjadi penganutnya yang setia.


ditulis : oleh Lianny Hendranata

untuk "Suara Pembaruan" edisi November 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar