Kamis, 07 Mei 2009

Fondasi Relasi Jiwa adalah Kepercayaan

Fondasi Relasi Jiwa adalah Kepercayaan




Indonesia banyak sekali mempunyai nasihat melalui pepatah-pepatah di antaranya, "Sekali lancung ke ujian, seumur hidup tidak akan dipercaya". Makna yang terkandung di dalamnya, tentang seseorang yang tidak lulus dalam sebuah ujian kejujuran atau sejenisnya, maka seumur hidup dia kehilangan kepercayaan dari orang lain, walaupun sudah berusaha memperbaiki diri untuk bisa menjadi orang yang tepercaya.


Pepatah di atas ternyata terjadi juga dalam kepercayaan antarpasangan nikah, bagaimana cara awal kita mendapatkan pasangan kita, sampai mengikatnya menjadi suami istri dan sepakat membangun bahtera rumah tangga, adalah fondasi awal kepercayaan jiwa kita, dalam relasi selanjutnya dalam kebersamaan.

Sebagai contoh kasus, seorang dokter spesialis kulit diprotes para pasiennya, karena istri beliau selalu ada dalam ruang periksa dan terkesan selalu mengawasi gerak-gerik sang suami, saat melayani para pasien perempuan yang datang ke klinik kecantikannya.


Kekakuan sikap sang dokter dan rasa risih dari para pasien yang terheran-heran dengan sikap sang istri tersebut, akhirnya disampaikan kepada pengelola klinik tersebut secara tertulis dan ditandatangani oleh banyak pasien yang setuju, memprotes keberadaan istri sang dokter yang tidak pada tempatnya saat sang suami menjalankan rutinitas pekerjaannya.


Setelah diselidiki kenapa sang istri dokter tersebut berbuat demikian?, Apakah tidak ada pekerjaan lain selain mengawasi sang suami bekerja? Ternyata sejarah dari pernikahan mereka, sang istri tadinya juga pasien setia sang dokter, dan dengan intensitas kerutinan pertemuan mereka, maka pasien ini akhirnya jatuh cinta kepada dokternya dan mulai menggoda, singkat cerita akhirnya sang dokter menikahi pasien cantiknya dan didahului mengurus perceraian dengan istrinya.


Cara mendapatkan suaminya pada waktu lalu, secara kejiwaan sang istri terobsesi dengan keyakinan, jika tidak diawasi, sang suami akan bisa 'diambil' juga oleh pasien perempuan lain yang datang berobat, sama seperti yang dulu dilakukannya. Sikap tidak percaya, sikap tidak yakin sang suami akan setia kepadanya, karena sang istri tersebut pernah mengalami ketidaksetiaan sang suami pada istri terdahulu, hal ini yang membelenggu perasaan dan pikiran istri baru sang dokter tersebut, inilah yang menjadi racun dari relasi mereka, membuat kehidupan menjadi ricuh dengan banyak protes dan prasangka.


Contoh ini banyak ragamnya, tapi intinya, adalah 'batu pertama' dalam membangun bangunan rumah tangga, adalah kepercayaan dan apa yang menjadi acuan waktu kita memulainya, itu fondasi dasar untuk kepercayaan selanjutnya. Kasus lainnya, seperti yang dialami seorang perempuan, dia menikah dengan seorang laki-laki yang mempunyai sejarah, banyak hubungan dengan perempuan lain di luar pernikahannya.


Bahkan, dirinya pun salah seorang 'kekasih gelap' sebelum lelaki tersebut menceraikan istrinya dan dia resmi diperistri. Ketakutan sejarah merebut suami orang yang dia alami akan terulang, maka perempuan tersebut sekarang terus-menerus menjadi 'pengawas' dari gerak-gerik sang suami, siapa saja perempuan yang berelasi dekat dengan suaminya, akan didamprat dicaci maki sebagai perempuan 'nakal' yang akan mencuri suaminya,


Contoh kasus tadi, banyak terjadi dalam masyarakat kita, tanpa sadar kita memelihara perasaan khawatir, kecemasan berlebih karena becermin dari apa yang kita lakukan sendiri. Berbeda dengan pasangan suami istri yang memulai fondasi dasar mereka, dengan 'bersih' tanpa ada kerumitan, yaitu berupa adanya pihak yang 'berdarah-darah' yang mengawali bangunan rumah tangga mereka, maka kepercayaan antarpasangan tersebut lebih kuat, dan rasa percaya diri tiap-tiap pihak sangat besar, mereka yakin pasangannya tidak mudah 'dicuri' oleh orang lain, berbeda keadaan dengan pasangan, seperti contoh kasus di muka tulisan ini.


Kita jujur saja bahwa, suatu hubungan banyak up and down-nya. Tentu kepercayaan, pengertian, dan perhatian merupakan onderdil yang penting dalam membangun suatu hubungan, terutama dalam ikatan suami istri.


Kita sebagai manusia mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan konfliknya sendiri, tetapi hal ini tidaklah mudah, jika terjadi dalam hubungan perasaan dengan pasangan sendiri. Emosi yang negatif seperti kejengkelan, kemarahan, kesedihan, dan sebagainya, menjadi halangan dalam berhubungan, baik berupa komunikasi maupun hubungan intim.


Berbeda jika konflik terjadi pada orang di luar pasangan kita, misalnya dengan keluarga istri, keluarga suami atau teman. Masalah efektif lebih mudah diselesaikan, karena tidak banyak menyangkut hal yang baku, seperti pertemuan rutin di tempat tidur dan kegiatan lain selama bersama-sama, serta banyak waktu untuk menghindari orang yang tidak selaras (cocok perasaan) berhubungan dengan kita.


Karena Memanjakan Ego

Kepasifan dalam berinteraksi, dan konflik yang akhirnya terjadi bukan semata karena hambatan adanya emosi negatif yang diterangkan di muka saja, tapi bisa, karena pengalaman masa lalu, khususnya, seperti contoh cerita kasus di muka tulisannya ini. Konflik jiwa karena trauma dengan kepercayaan terhadap pasangan.


Pengalaman yang negatif bisa mengakibatkan terjadi ketakutan dan rintangan dalam hubungan selanjutnya dengan pasangan. Hal ini diperburuk dengan sikap dari memenangi ego diri sendiri. Sering kita jadi budak ego kita sendiri. Tidak ada yang lebih parah untuk mencelakai diri sendiri adalah ego yang kita manjakan.


Ego membuat kita memupuk sikap arogan. Banyak masalah sederhana tidak bisa diselesaikan hanya karena membela ego diri dan sikap arogan yang dipamerkan. Ego adalah pikiran yg tidak disadari yang mengendalikan hidup kita, dan Ego itu tidak akan pernah mampu menyelesaikan masalah, karena yang menjadi masalah justru ego-ego tersebut.


Ego mengendalikan hidup orang-orang yang berkutat mempertahankannya, mereka menjadi bagian dalam drama pikiran mereka sendiri, hal yang menjadikan mereka takut dan marah disanalah ego dibela habis. Pembelaan ego diri, selalu berujung konflik baik pada diri sendiri, juga bagi orang yang terkena imbas dari kelakuan ego seseorang.


Orang yang sadar mau melepas ego akan mencari solusi penyelesaian konflik, sedangkan orang yang membela dan memelihara egonya akan memamerkan kearoganan dirinya, maka jika kita bermasalah dengan orang yang berprinsip egonya harus tetap menang, sikap mundur teratur untuk memberinya kepuasan pemenuhan egonya adalah sikap yang bisa kita jalankan.


Pembelaan ego tidak akan membuat kita bahagia, malah jika kita tetap membesarkan ego kita tanpa peduli dengan orang lain, bumerang ada pada diri kita sendiri, kita menciptakan orang yang punya dendam pada kita, tentu hal ini sangat tidak diinginkan bagi orang yang sadar dengan pepetah "Satu musuh sudah sangat berlebih untuk membuat hidupmu sengsara"


Kebahagiaan jiwa tidak didapat dari kepuasan, sebagai menjadi orang yang menang perkara. Kebahagiaan tidak didapat dengan jadi orang yang mampu merampas hak orang lain.


Tetapi, kebahagiaan bisa kita rasakan jika kita berfokus bagaimana menciptakan keharmonisan jiwa yang bebas dari rasa bersalah, dan bebas dari rasa ketakutan akibat perbuatan-perbuatan kita, bebas dari rasa ingin memiliki kepunyaan orang lain, dan bebas dari rasa dijajah oleh ego orang lain.



ditulis oleh :

Lianny Hendranata untuk "Suara Pembaruan"

http://202.137.4.125/indeks/News/2008/12/21/Psikolog/psi01.htm


Tidak ada komentar:

Posting Komentar