Minggu, 20 September 2009

Sudahkah Berdamai dengan diri sendiri

“Sudahkah, Berdamai Dengan Diri Sendiri”


penulis : Lianny Hendranata

Tayang di Suara pembaruan edisi 20 Sept 2009

http://www.suarapembaruan.com/News/2009/09/20/Psikolog/psi02.htm

Lucu juga ya, membaca judul artikel ini. Masa orang ditanya sudahkah berdamai dengan dirinya sendiri? Beberapa orang mungkin menjawab dalam hati, ‘jelas dong, masa sama diri sendiri saja tidak bisa berdamai. Kalau sama orang lain mungkin saja begitu.


Apakah pernyataan tersebut sepenuhnya benar..?, pernahkah anda mengalami semacam suasana terlibat dialog seru dengan diri sendiri, seolah berdebat dengan seseorang yang asing, dimana dalam dialog ini kita saling menyalahkan, saling membela diri, dan saling menuduh.


Kita akan melihat beberapa contoh ini, Seorang perampok yang menikam suami seorang teman sampai meninggal, pada saat tertangkap, perampok tersebut membentur-benturkan kepalanya sendiri sambil menangis dan berguman: ‘kenapa ya aku sampai melakukan hal seperti ini ? : "Kenapa bisa-bisanya aku menjadi perampok, dan sekarang menjadi pembunuh orang". Perampok tersebut terus menangis dan dengan berteriak, dia katakan : "hukum saya seberat-beratnya, karena saya tidak menghargai diri saya sendiri, saya bukan manusia, saya bukan suami dan ayah yang baik".


Bahkan Ferry (bukan nama sebenarnya) bergumam sendiri, pada saat diwawancara seorang ahli yang ditugaskan perusahaannya, untuk menilai karyawan-karyawan yang akan dipromosikan dalam rangka kenaikan jabatan, demikian Ferry bertanya pada dirinya sendiri: ‘saya sendiri heran, ya kenapa bisa-bisanya saya memegang jabatan bidang komunikasi, padahal saya ini insiyur lulusan pertanian yang keahliannya dibidang bercocok tanam, dan pada saat ini sebagai Publik Relation, saya sebetulnya buta sama sekali. Saya saja tidak mengerti pada diri sendiri, kenapa sampai mengerjakan pekerjaan yang sangat berbeda dengan ilmu yang saya tekuni’.



Tanpa disadari kita sebagai seorang manusia sering kali bingung, apa sih yang membuat kita berlaku demikian..?, padahal bukan maksud hati lho sudah berbuat begitu! (suara ini berdengung lebih sering pada saat kita merasa bersalah dalam bertindak) kadang kita juga geleng-geleng kepala merenung kebingungan, kenapa bisa sampai terjun di arena pekerjaan yang bukan merupakan kemahiran diri dan sangat bertentangan dengan ilmu pelajaran yang kita pelajari dengan tekun (seperti yang terjadi pada Ferry).


Banyak diantara kita yang tidak mengerti apa yang terjadi dengan diri sendiri, sering apa yang dikerjakan disangkal sendiri, apa yang terjadi? dan kita berusaha untuk menentramkannya seolah dengan membujuk-bujuk memberi alasan ini dan itu. Maka jangan heran kita seperti terlibat dialog dengan orang lain yang ada dalam diri kita. Dengan berbuat seperti itu seolah kita mencoba berdamai dengan diri sendiri.


Penulis mengulang pesan seorang guru Meditasi yang berbunyi demikian: “Pikiran yang harmonis ibarat alas kaki yang melindungi kita dalam dunia yang selalu berubah” Hidup adalah pencarian tentang siapa diri kita, ini perjalanan pribadi tidak bisa diwakilkan.


Untuk menemukan siapa diri kita, kuncinya adalah dengan bertanya pada diri sendiri :

1. Siapakah diriku?

2. Apa tujuan hidupku sampai aku terlahir ?

3. Kemana aku ingin menuju dalam hidup ini ?

4. Akan aku jadikan siapa diriku ini ?


Anda semua mungkin masih ingat pada waktu kita kecil kalau ditanya ‘apa cita-citamu?’ kita menjawab ingin jadi ini, dan ingin jadi itu, Tetapi jawaban selalu berubah setiap ditanya kembali.


Nah itulah diri kita, banyak cita-cita yang ingin dicapai, Tetapi yang terpenting setelah kita dewasa, adalah melakukan atau kita jalani dalam hidup ini, hal yang bisa membuat kita damai untuk diri kita, damai juga untuk orang lain (lingkungan kita). Kedamaian menciptakan kebahagiaan jiwa.


hidup itu perjalanan pribadi, kita tidak bisa meminta orang lain untuk menjalani kehidupan kita, maka kita jugalah yang harus merancang dan menjalaninya, Resiko dari salah rancang, pasti ada.! bahkan sering kali terjadi. Tetapi hidup tanpa rancangan (baca : program) maka kita akan terseok-seok menyusuri jalan kehidupan itu sendiri, dan terjerat dalam lingkaran waktu.


Jelas hidup ini sebuah lingkaran waktu, kita harus memanfaatkan waktu yang telah tersedia, ibarat uang deposito, kita berhak menggunakannya semau kita, tapi ingat, akan ada hitungan yang tegas sepemakaian waktu tersebut.


Banyak orang mejalani hidup ini dengan 'mengambang' sekedar hidup...! dan tidak ada tujuan pasti, kita melihat banyak anak orang kaya, jatuh terpuruk dengan warisan orang tuanya, karena dia sendiri tidak mempunyai program yang jelas untuk jalan hidupnya, Bagaimana bisa meneruskan bisnis keluarganya, jika diri sendiri saja masih bingung mau berbuat apa dan untuk apa hidup ini.


Saya kutip tulisan Andri Wongso yang berkata : "Kepuasan terbesar dalam hidup ini, adalah dapat melakukan, apa yang orang lain katakan, kita tidak bisa melakukannya" Benar sekali pemikiran A.W tersebut, bagaimana kita bisa dihargai oleh orang lain, jika kita tidak dapat menghargai diri sendiri.! Banyak orang terpuruk hanya karena gunyingan orang, cemoohan orang lain yang mengatakan 'diri kita tidak bisa', atau 'dia tidak pantas', atau 'masa iya sih dia bisa lakukan itu'.


Buktikan, bahwa kita bisa.! buktikan bahwa jiwa kita mampu berdamai dengan diri sendiri untuk menunjukan bahwa kita orang yang pantas dihargai, karena kita terlebih dahulu menghargai diri sendiri.! Jangan pandang rendah diri sendiri, Tiap orang mempunyai porsi yang sama untuk sukses, hanya orang yang berani berbuat dan berani menanggung resiko gagallah yang akan bisa mendekati kesuksesan itu sendiri.



Komunikasi adalah respek

Komunikasi itu ‘kendaraan’ untuk bisa kerjasama. Demikian juga pikiran dan 'hati', kita harus mampu berkomunikasi, sapa tubuh kita dengan pikiran dan perasaan terdalam dari diri kita, kenali ritmen diri sendiri, ada saatnya kita kehilangan kemampuan untuk berbuat, terutama kerjaan rutin, cobalah 'istirahat' sejenak, 'bermainlah' dengan santai, tidak masalah kita memanjakan sesekali diri sendiri untuk bermalas-malasan, bukan berarti kita malas. Tapi jiwa kita ingin sedikit perhatian, anak kecil dalam diri kita butuh kemanjaan sejenak. Dengan demikian kita respek dengan diri sendiri.


Mengenal diri sendiri, antara kekuatan dan kelemahan kita. Dari kekuatan yang kita punya jalankan untuk menolong kelemahan kita, dan belajar mengaku kelemahan dan bersiap dengan akibatnya. Itu cara belajar untuk menjadi jiwa fleksibel.


Jika kita respek kepada orang lain bisa direalisasikan sebagai : 1) Respek dengan lingkungan, 2) Respek dengan privacy pribadi orang lain, kebutuhan mereka pribadi dengan ruang fisik dan milik, 3) respek dengan berbagai pandangan orang lain, jika tidak adanya respek, maka yang terjadi interaksi menuju ke konflik dan permusuhan. Demikian juga diri kita sendiri, kita harus berdamai dengan diri sendiri agar bisa sehat secara jiwaraga. Sehingga kita merasakan hidup ini sebagai berkah, bukan memandang hidup sebagai suatu hal yang terpaksa harus dijalani dengan berat hati.


Buatlah program rancangan yang jelas dan realistis, seperti seorang penulis yang akan membuat naskah buku, pertama buatlah daftar isi buku, lanjutkan bab per bab, dan jika ada koreksi cukup ditinjau bab per bab, bukan mengulang keseluruhan isi buku, demikian juga hidup kita, ada periode dimana kita harus mengkoreksi, hal tersebut bisa kita lakukan dengan meminimalkan resiko negatif dengan meninjaunya periode per periode yang akan dikoreksi.


Selamat beraktivitas, Kesuksesan bukan hadiah dari langit, tetapi cucuran keringat dan hasil kerja otak, serta nurani yang peka memandang, bahwa hidup ini sebagai ajang belajar. setiap kegagalan adalah pelajaran berharga yang patut dikenang dan dipelajari, agar kita tidak mengulang kesalahan yang sama.


salam bahagia untuk semua pembaca,

L.H



Tidak ada komentar:

Posting Komentar